PENDAHULUAN
Cumi-cumi merupakan binatang lunak dengan tubuh berbentuk silindris. Sirip-siripnya berbentuk trianguler atau radar yang menjadi satu pada ujungnya. Pada kepalanya di sekitar luabang mulut terdapat 10 tentakel yang dilengkapi dengan alat penghisap (sucker). Tubuh terdiri dari isi rongga tubuh (visceral mass) dan mantel. Lapisan isi rongga tubuh berbentuk silinder dengan dinding sebelah dalam tipis dan halus. Mantel yang dimilikinya berukuran tebal, berotot, dan menutupi isi rongga tubuh pada seluruh isi serta mempunyai tepi yang disebut leher (Pelu 1989).
Menurut Saanin (1984) klasifikasi cumi-cumi adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Cephalopoda
Subkelas : Coleoidea
Ordo : Teuthoidea
Family : Loligonidae
Genus : Loligo
Spesies : Loligo sp.
Gambar 1. Cumi-cumi (Loligo sp.)
Sumber : Koleksi pribadi
Menurut Voss (1963) dan Roper, daerah penyebaran cumi-cumi adalah di perairan Pasifik Barat, Australia Utara, Pulau Filipina, bagian utara Laut Cina Selatan sampai Jepang. Penyebaran cumi-cumi (Loligo sp.) di seluruh perairan Indonesia hampir merata, yaitu dari Barat Sumatera sampai ke selatan Irian Jaya, dari Selat Malaka ke timur sampai ke perairan Timur Sumatera, Laut Jawa, Laut Banda, dan perairan Maluku/ Arafura.
Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan penghuni demersal atau semi pelagik pada daerah pantai dan paparan benua sampai kedalaman 400 m. Beberapa spesies hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam hari. Cumi-cumi tertarik pada cahaya (fototaksis positif), oleh karena itu sering ditangkap dengan menggunakan bantuan cahaya (Roper et.al. 1984).
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantong tinta yang terletak di atas usus besar. Bila kantung ini dibuka, maka akan mengeluarkan tinta berwarna coklat atau hitam yang diakibatkan oleh pigmen melanin. Cumi-cumi akan mengeluarkan tintanya melalui siphon untuk menghindari predator (Buchsbaum et.al. 1987).
Cumi-cumi (Loligo sp.) mempunyai sistem reproduksi yang terpisah (dioecious), dimana gonadnya terletak pada bagian posterior tubuhnya. Spermatophora (sel kelamin jantan) yang sudah matang gonad akan disimpan pada nedhem sac (Pelu 1988).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum karakteristik morfologi cumi-cumi (Loligo sp.) dilaksanakan pada hari Kamis, 17 Maret 2011, pukul 15.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Pengetahuan Bahan Baku dan Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah alat bedah, batu, baskom, pemanas air (heater), plastik, penggaris, score sheet, sarung tangan, trash bag timbangan digital, tabung Kjeldahl, wadah, dan destilator.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan antara lain cumi-cumi (Loligo sp.), es batu, serta bahan kimia seperti HCl, NaOH, H2SO4, H3BO3, dan Selenium.
Prosedur Kerja
Tahapan-tahapan prosedur kerja pada praktikum ini meliputi teknik preparasi diantaranya perhitungan morfometrik, rendemen, dan analisis proksimat. Sebelum dipreparasi cumi-cumi ditimbang berat utuhnya terlebih dahulu dengan timbangan analitik, kemudian, cumi-cumi diukur panjang total, panjang badan, dan lebar total dengan penggaris. Setelah ditimbang berat utuhnya, daging cumi-cumi dipisahkan dari kepalanya, kemudian cangkang yang berada di dalam tubuhnya juga dipisahkan, serta organ dalamnya, masing-masing ditimbang kembali beratnya dengan timbangan analitik lalu dihitung masing-masing rendemennya. Prosedur kerja pada praktikum cumi-cumi dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
Pembersihan cumi-cumi
Penimbangan massacumi-cumi
Perhitungan panjang total, panjang
badan, dan lebar total
Pemisahan daging dan kepala, serta organ
dalam dan cangkang
Penimbangan massa daging, kepala,
organ dalam, dan cangkang
Penghitungan rendemen daging, kepala,
organ dalam, dan cangkang
Pengamatan kemunduran mutu
cumi-cumi dengan perlakuan chilling
dengan dan tanpa jeroan
Gambar 2. Diagram alir prosedur kerja karakteristik morfologi cumi-cumi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran dan Berat Cumi-cumi (Loligo sp.)
Pengamatan yang dilakukan pada keong macan diantaranya penghitungan data nilai morfometrik dari cumi-cumi (Loligo sp.). Morfometrik adalah pengukuran standar yang berkaitan dengan panjang standar, bobot, dan lainnya. Parameter morfometrik cumi-cumi (Loligo sp.) yang dihitung antara lain panjang total, panjang badan, lebar total, dan berat total. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Ukuran dan berat rata-rata cumi-cumi (Loligo sp.)
Parameter | Nilai |
Panjang total (cm) | 33,31±3,56 |
Panjang badan (cm) | 11,91±1,27 |
Lebar total (cm) | 5,64±0,57 |
Berat total (gr) | 77,00±8,19 |
Keterangan : Data diperoleh dari sampel urutan 5A-8B
Berdasarkan perhitungan data kelompok 5A-8B pada tabel di atas diperoleh data panjang total cumi-cumi adalah (33,31±3,56) cm, panjang badan rata-rata cumi-cumi adalah (11,91±1,27) cm, lebar total cumi-cumi adalah (5,64±0,57) cm, dan berat total (77,00±8,19) gr.
Menurut penelitian Marzuki dan Subani (1989) bahwa cumi-cumi (Loligo sp.) dapat mencapai panjang total 30 cm dan berat total 0,5 kg. Pengamatan cumi-cumi pada praktikum ini, hasilnya tidak terlampau jauh dengan literatur.
Analisis pertumbuhan cumi-cumi umumnya didekati dengan dua parameter, yaitu berdasarkan panjang (L) dan bobot (W). Pada cumi-cumi biasanya digunakan panjang mantel (Marzuki et.al. 1989). Panjang badan cumi-cumi yang diamati pada praktikum ini berkisar antara 10,64 hingga 13,18 cm. Menurut Marzuki et.al. (1989) kisaran panjang badan cumi-cumi (Loligo sp.) adalah 9,5 hingga 16,5 cm.
Rendemen Cumi-cumi (Loligo sp.)
Rendemen merupakan bagian dari tubuh keong yang dapat dimanfaatkan. Data persentase rendemen cumi-cumi (Loligo sp.) didapat dari perhitungan data rendemen dari cumi-cumi 4A-4B dan digambarkan dengan diagram pie berikut ini.
Gambar 3. Diagram pie rendemen cumi-cumi (Loligo sp.)
Berdasarkan data sampel kelompok 4, nilai rendemen keong macan pada gambar di atas diantaranya adalah nilai rendemen daging sebesar 65%, rendemen organ dalam sebesar 6%, rendemen kepala sebesar 24%, dan rendemen cangkang sebesar 5%. Berdasarkan data diagram pie dapat dilihat bahwa rendemen daging merupakan rendemen dari cumi-cumi yang memiliki persentase terbesar yaitu sebesar 65%, dan yang terkecil adalah rendemen cangkang yaitu sebesar 5%.
Perhitungan rendemen dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Rendemen (%) = x 100% |
|
Daging cumi-cumi banyak dimanfaatkan untuk dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun telah dijadikan produk olahan. Persentase cangkang lebih kecil daripada daging karena cangkang cumi-cumi berada di dalam tubuhnya (daging) yang lunak dan rangkanya merupakan rangka dalam (endoskeleton). Sedangkan besarnya rendemen organ dalam sebesar 6% dan rendemen kepala sebesar 24%.
Komposisi Kimia Cumi-cumi (Loligo sp.)
Analisis proksimat adalah suatu metoda analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar
zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya.
Berdasarkan penelitian dengan metode-metode analisis proksimat, diperoleh data-data kandungan kimia yang terdapat pada cumi-cumi dapat dilihat dalam tabel berikut ini. (Tabel 2).
Tabel 2. Komposisi kimia cumi-cumi (Loligo sp.)
Senyawa | Kadar (%) |
Air | 78,42 |
Protein | 14,57 |
Abu | 1,40 |
Lemak | 1,45 |
Berdasarkan data di atas dapat dilihat kadar air cumi-cumi (Loligo sp.) sebesar 78,42%, kadar protein sebesar 14,57%, kadar abu 1,40%, dan kadar lemak sebesar 1,45%. Menurut Irawan (2006) cumi-cumi memiliki kandungan protein sebesar 14,65%, kadar lemak 0,24%, kadar air sebesar 84,01%, dan kadar abu sebesar 0,3%.
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang dinayatakan dalam persen. Air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembangbiak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno 1997). Berdasarkan hasil pengamatan kadar air pada cumi-cumi sebesar 78,42%. Hal ini menunjukkan bahwa cumi-cumi merupakan komoditi perikanan yang memiliki kadar air tinggi.
Cumi-cumi merupakan komoditi hasil perairan yang memiliki kadar kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi hasil perairan lainnya. Menurut Okuzumi dan Fuji (2000) kadar lemak cumi-cumi sebesar 1,0% sedangkan hasil pengamatan tidak berbeda jauh dengan literatur yaitu sebesar 1,45%.
Menurut Okuzumi dan Fuji (2000) kadar protein cumi-cumi tinggi yaitu 15,6% sedangkan berdasarkan pengamatan hasil kadar protein sebesar 14,57% dan mendekati persentase literatur. Hal ini membuktikan bahwa cumi-cumi mengandung kadar protein yang cukup tinggi.
Kemunduran Mutu pada Cumi-cumi (Loligo sp.)
Produk perikanan memiliki sifat cepat mengalami kemunduran mutu. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kandungan daging ikan merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Daging ikan sebagian besar terdiri dari protein dan air. Tingginya kadar air dalam ikan inilah yang menyebabkan ikan mudah sekali mengalami proses pembusukan karena bakteri.
Kemunduran mutu cumi-cumi dapat diuji dengan pengujian organoleptik. Uji organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses penginderaan. Uji organoleptik merupakan penilaian subyektif yang dilakukan secara individu dengan mengandalkan indera manusia sebagai alat utama (Irianto et.al. 2009). Parameter yang diamati dalam mengamati kemunduran mutu cumi-cumi adalah penampakan, bau, dan tekstur. Berikut ini adalah hasil pengamatan kemunduran mutu pada cumi-cumi.
Penampakan
Laju kemunduran mutu cumi-cumi dipengaruhi oleh suhu, lingkungan, pH dan faktor internal dari cumi-cumi itu sendiri. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perlakuan suhu kamar mengakibatkan kemunduran mutu cumi-cumi lebih cepat dibandingkan dengan cumi-cumi yang diberi perlakuan suhu chilling. Selain itu cumi-cumi yang utuh lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan cumi-cumi tanpa organ dalam. Hal ini disebabkan di dalam jeroan terdapat banyak mikroorganisme-mikroorganisme yang berperan aktif untuk perombakan dan mempercepat peristiwa pembusukkan pada tubuh cumi-cumi. Laju kemunduran mutu penampakan pada cumi-cumi dengan perlakuan dua suhu dapat digambarkan melalui grafik berikut ini.
Gambar 4. Laju kemunduran mutu penampakan cumi-cumi pada suhu chilling
Gambar 5. Laju kemunduran mutu penampakan cumi-cumi pada suhu kamar
Berdasarkan gambar grafik di atas laju kemunduran mutu penampakan cumi-cumi yang paling cepat adalah pada cumi-cumi utuh dengan perlakuan suhu kamar. Hal ini disebabkan oleh suhu ruangan yang mengoksidasi lemak pada cumi-cumi sehingga proses autolisis enzim cepat terjadi dan proses pembusukkan lebih cepat. Sedangkan pada suhu chilling laju kemunduran mutunya lebih lambat karena pada suhu dingin autolisis enzim lebih terhambat. Selain itu mikroorganisme yang terdapat pada saluran pencernaan (jeroan) mengakibatkan keong macan utuh dengan jeroan lebih cepat laju kemunduran mutunya dibandigkan dengan keong macan tanpa jeroan (Irianto et.al 2009).
Bau
Bau merupakan parameter untuk menilai laju kemunduran mutu cumi-cumi. Berdasarkan hasil pengamatan laju kemunduran mutu bau pada cumi-cumi dapat digambarkan pada grafik berikut ini.
Gambar 6. Laju kemunduran mutu bau cumi-cumi pada suhu chilling
Gambar 7. Laju kemunduran mutu bau cumi-cumi pada suhu kamar
Berdasarkan grafik di atas, semakin hari laju kemunduran mutu bau cumi-cumi baunya semakin membusuk. Bau yang timbul diakibatkan terakumulasinya basa-basa yang menguap hasil proses dekomposisi oleh mikroorganisme seperti senyawa-senyawa sulfur, alkohol aromatik (fenol, kresol) serta
senyawa-senyawa heterosiklik seperti indol dan skatol (Nurjannah et.al 2004). Bau pada cumi-cumi utuh suhu kamar lebih lebih cepat berbau busuk karena adanya bakteri pada jeroan, selain itu cumi-cumi mengandung sulfur sehingga bau busuk sangat menyengat ketika terjadi kemunduran mutu.
Tekstur
Kemunduran mutu tekstur pada cumi-cumi ditandai dengan semakin melunaknya daging. Berdasarkan pengamatan laju kemunduran mutu tekstur pada cumi-cumi dapat digambarkan melalui grafik berikut ini.
Gambar 8. Laju kemunduran mutu tekstur cumi-cumi pada suhu chilling
Gambar 9. Laju kemunduran mutu tekstur cumi-cumi pada suhu kamar
Kemunduran mutu cumi-cumi yang berpengaruh pada tekstur daging adalah penurunan pH yang mengakibatkan enzim-enzim yang bekerja pada suhu rendah menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak strutur jaringan protein otot menjadi lebih longgar yang mengakibatkan daging cumi-cumi menjadi agak lunak. Proses perombakan oleh enzim tersebut disebut dengan autolisis (Diniah et.al 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pengukuran morfometrik dan rendemen dilakukan pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar persentase dari bagian-bagian biota cumi-cumi yang dapat dimanfaatkan. Berdasarkan data yang diperoleh, panjang total cumi-cumi sebesar 33,31 cm, panjang badan sebesar 11,91 cm, lebar total 5,64 cm, dan berat total 77 gr. Nilai rendemen terbesar adalah nilai rendemen daging sebesar 65% sedangkan yang terkecil adalah rendemen cangkang sebesar 5%. Hasil uji proksimat yang diperoleh adalah kadar air sebesar 78,42%, kadar abu 1,40%, kadar protein 14,57%, kadar lemak 1,45%. Laju kemunduran cumi-cumi yang paling cepat adalah cumi-cumi utuh pada perlakuan suhu kamar. Hal ini disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang terdapat pada jeroan cumi-cumi dan juga mikroorganisme tersebut menyukai suhu yang cenderung netral.
Saran
Untuk lebih memahami analisis proksimat/ kandungan kimia pada suatu biota, maka untuk kedepannya diharapkan mahasiswa turut melakukan uji proksimat sehingga mengetahui metode-metode untuk mendapatkan hasil kandungan kimia dari biota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buchsbaum R, M. Buchsbaum, J. Pearse, and V. Pearse. 1987. Animal Without Backbone. Third Edition. The University of Chicago Press. Chicago.
Diniah, Lismawati,D., Martasuganda,S. 2006. Uji coba dua jenis bubu penangkap keong macan di perairan Karang Serang kabupaten Tanggerang. Jurnal Mangrove dan Pesisir Vol. VI No.2/2006.
Irawan A. 2006. Kandungan Mineral Cumi-Cumi (Loligo sp) dan Udang Vanamei
(Litopenaeus vannamei) Serta Pengaruh Perebusan Terhadap Kelarutan. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Irianto,H.E. dan Giyatmi,S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas Terbuka.
Marzuki S, T. Hariati dan Rustam. 1989. Sumberdaya Cumi-Cumi (Loliginidae steenstrup, 1861) di Perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Nurjanah, Setyaningsih,I., Sukarno, Muldani,M. 2004. Kemunduran mutu ikan Nila merah (Oreochromis sp.) selama penyimpanan pada suhu ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Volume VII Nomor 1 tahun 2004.
Okuzumi M, T. Fuji. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squids and Cuttlefish. National Cooperative Association of Squid Processors. Japan.
Pelu. 1988. Beberapa Karakteristik Biologi Cumi-Cumi (Squids). LONAWARTA, Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut Ambon. Ambon.
Roper C.F.E, M.J Sweeney, and Nauen. 1984. Cephalopods of The World. An annoted and Illustrated Catalogue of Species of Interest to Fisheries. FAO. Species Catalogue vol 3.
Saanin, Hasnuddin. 1984. Kunci dan Identifikasi Ikan. Bandung : Binatjipta.
Voss G.L. 1963. Cephalopods of The Philippine Islands. Smith Sonian Institution. Washington.
Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia.